Halaman

Jumat, 06 Januari 2012

STUDI KASUS ISD E-F

BERITA 
Komnas HAM: Pada Kasus Bima Polisi tidak Mengikuti Protap
Nasional / Selasa, 3 Januari 2012 12:33 WIB

Metrotvnews.com, Jakarta: Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dalam laporannya di Jakarta, Selasa (3/1) hari ini, menyebutkan jumlah korban tewas dalam insiden pembubaran paksa di Pelabuhan Sape, Bima, Nusa Tenggara Barat, ada tiga orang. Sebelumnya pihak kepolisian mengumumkan hanya ada dua korban tewas dalam insiden berdarah tersebut.

 Komnas HAM juga menyatakan, kepolisian tidak mengikuti prosedur tetap (protap) yang seharusnya. Ada empat protap yang dilewati kepolisian. Pertama, tidak ada pengendalian massa dengan tangan kosong lunak, pengendalian massa dengan tangan kosong keras, penggunaan senjata tumpul dan penggunaan senjata kimia seperti pakai air cabai. Polisi justru langsung menggunakan senjata tajam.

Dari video yang dirilis Komnas HAM terlihat masyarakat sangat kooperatif. Tapi polisi tetap juga memukuli warga. Ada juga gambar anak belasan tahun yang dibawa ke pinggir pantai dan ditendangi petugas kepolisian. Terlihat juga polisi menembak warga dari jarak jauh. Dalam rekaman video itu pihak kepolisian juga terlihat mengumpulkan selongsong peluru, seperti hendak menghilangkan barang bukti.

Korban tewas adalah Arief Rahman (18 tahun) dan Syaiful (17). Keduanya ditemukan tewas 600 meter dari Pelabuhan Sape. Korban Syaiful justru tewas saat hendak menyelamatkan rekannya Arief Rahman. Satu lagi korban tewas adalah Syarifuddin (46). Sementara seorang lagi, Nasrullah (30) dinyatakan masih hilang.

Komnas HAM juga akan memanggil Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral untuk merekomendasikan pencabutan SK 188 tentang eksplorasi emas di Bima yang menjadi pemicu masalah. Bupati Bima baru akan mencabut SK tersebut jika ada persetujuan dari Menteri ESDM. "Undangan untuk Menteri ESDM besok akan kita kirimkan kepada," lanjut anggota Komnas HAM, Ridha Saleh.

Komnas HAM mendesak Polri untuk segera melakukan pemulihan, tidak melakukan sweeping, intimidasi, maupun penangkapan. "Kami juga minta polisi meminimalisir tersangka dan melakukan pendekatan persuasif," kata Ridha.

Untuk Pemerintah Kabupaten Bima, Komnas HAM meminta segera membiayai korban-korban luka yang masih dirawat, dan utamanya mencabut SK tersebut. "Kalau tidak, ketegangan masih akan terjadi di sana," ungkap Ridha Saleh.

Bagi para korban luka, Komnas HAM meminta seluruh korban segera merujuk ke rumah sakit. Salah satu korban tertembak, Ismail, kini juga dirawat di Rumah Sakit Muhammadiyah Bima. "Ismail itu sudah angkat tangan, namun saat berbalik ditembak dua kali di bagian dada, satu di pinggang dan satu lagi di tangan."

Dari 52 anggota dan dua perwira polisi yang bertugas saat insiden pembubaran paksa, lima di antaranya sudah ditetapkan menjadi tersangka.(RIZ) 

Sumber :
http://www.metrotvnews.com/index.php/read/newsvideo/2012/01/03/142637/Komnas-HAM-Pada-Kasus-Bima-Polisi-tidak-Mengikuti-Protap/6 

STUDI KASUS

Sesuai dengan pembahasan yang ada dalam materi ilmu sosial dasar mengenai warga negara dan negara, kita melihat sebuah ironi dari apa yang seharusnya menjadi tanggung jawab serta peran negara dalam peranannya terhadapm masyarakat pada saat-saat ini. Negara seharusnya bertugas melindungi, mengayomi, mensejahterakan, menegakkan keadilan serta menjaga ketertiban ditengah-tengah masyarakat. Dalam korelasinya bersama-sama dengan aparat hukum negara seperti TNI dan Polri, peranan dan tugas negara tersebut saling berkaitan dan bekerjasama. Aparat hukum pun mengemban tugas yang sama didalam menjaga keamanan suatu negara dari segala tindakan yang tidak sesuai baik didalam negara maupun dari luar bangsa Indonesia. Aparatur Polri secara khusus mengemban tugas yang cukup serius dalam kaitannya bersama negara Indonesia dalam menyelaraskan masyarakat dan keadaan negara. Polri mengemban tugas untuk menjaga kemanan, melindungi keselamatan masyarakat, menegakkan keadilan melalui proses-proses pidana terhadap pihak yang terbukti melanggar hukum, dll. 

Pada kasus di Bima, Nusa Tenggara Barat yang lalu, kejadian yang sungguh tragis dan memalukan terjadi lagi di negeri ini. Berawal dari pendudukan masyrakat di pelabuhan Sape, Bima, Nusa Tenggara Barat dikarenakan mereka menolak adanya penambangan emas di wilayah pemukiman warga di Kecamatan Lambu. Pertambangan ini dikhawatirkan akan merusak lingkungan menutup sumber mata air yang digunakan warga untuk sumber air minum dan pertanian. Upaya warga dilakukan dengan melakukan demonstrasi dan melakukan pendudukan di Pelabuhan Sape, pada 19 Desember 2011 lalu. Memang sesungguhnya secara hukum, perusahaan penambang emas diwilayah tersebut seharusnya sudah harus menghentikan operasinya, dikarenakan mereka tidak mempunyai izin operasional dari Kementrian Kehutanan. Dalam hal ini kasus penambangan di hutan tanpa izin Kementerian Kehutanan telah jelas melanggar pasal 50 UU 41/1999 tentang kawasan hutan dengan sanksi minimal 10 tahun penjara. Anehnya disini terlihat bahwa kapolres mengadakan pertemuan dengan berbagai pihak untuk mengawal penambangan tersebut. Ironisnya, latar belakang ini dan pemihakan ini tidak diusut oleh Propam Polri. Namun pengusutan polisi hanya difokuskan saat rakyat memblokade pelabuhan dengan dalih mengganggu kepentinggan umum apalagi menjelang perayaan Natal. Padahal, upaya yang dilakukan rakyat tersebut agar kasus penambangan liar tersebut mendapat perhatian serius dari kepolisian setempat, bukannya justru berpihak kepada pengusaha tambang dengan menangkap warga yang berdemo.

Berbagai tindak kekerasan dilakukan oleh aparatur Polri dalam upaya menertibkan warga yang memblokade pelabuhan Sape tersebut. Polri menurut hasil analisis Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas-HAM) telah melanggar berbagai prosedur tetap dalam hal tersebut. Tindakan kekerasan terhadap warga tak segan-segan dilakukan oleh aparat kepolisian terhadap warga, bahkan sampai terjadinya tragedi penembakan terhadap warga. Hal ini mengakibatkan 3 orang warga tewas dalam tragedi ini menurut hasil temuan Komnas-HAM, puluhan orang luka-luka akibat tembakan serta ditetapkannya sebanyak 47 tersangka terkait bentrok yang terjadi. Polri dalam hal ini menyalahi protap sesuai dengan ketentuan Pasal 5 ayat (1) Perkap No: 1 Tahun 2009, telah diatur enam tahap tentang tentang penggunaan kekuatan dalam tindakan kepolisian, yakni pencegahan, perintah lisan, kendali tangan kosong lunak, kendali tangan kosong keras, kendali senjata tumpul (senjata kimia, gas air mata, semprotan cabe), dan kendali senjata api. Polri tidak menjalani prosedur tesebut malah justru menangani warga yang berdemo dengan senjata api.

Hal ini sungguh sangan memilukkan hati. Sebagai sebuah institusi penegak hukum bangsa ini, Polri seharusnya melaksanakan prosedur-prosedur sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku, bukan malah justru sebaliknya, dengan memihak kepada pihak yang bersalah. Sungguh ironis memang melihat keadaan bangsa kita saat-saat ini, dimana keadilan masyarakat berada dalam jurang kegelapan. Keadilan dan hak asasi manusia tidak lagi begitu diperhatikan. Dalam kaitannya dengan materi ilmu sosial dasar, dapat ditarik kesimpulan bahwa sudah seharusnya negara dan berbagai aparatur didalamnya menjaga dan menjalankan peranan dan tugasnya demi masyarakat sesuai dengan aturan yang berlaku. Mereka mengemban tugas yang sangat penting dalam hal ini, yang akan membuat masyarakat merasa dilindungi, diayomi dan tetap terjaga. Oleh karena itu, penting bagi kita bersama-sama untuk tetap menjaga bersama dan tetap menjunjung nilai-nilai keadilan dan tetap memperhatikan berbagai aturan yang ada sesuai dengan ketetapan yang telah ada. 

Sumber : 
  • http://id.wikipedia.org/wiki/Bentrok_Bima
  • http://www.republika.co.id/berita/nasional/hukum/12/01/03/lx8by5-polri-akan-dalami-hasil-investigasi-komnas-ham-soal-mesuji
  • http://warta-indonesia.com/nasional/kriminal/1683-pengusutan-tragedi-bima-ipw-pertanyakan-profesionalisme-polri-





1 komentar: