Halaman

Minggu, 02 Oktober 2011

STUDI KASUS ISD


BERITA TENTANG KEPADATAN PENDUDUK
"MASALAH KEPADATAN PENDUDUK MENGHADANG"



KOMPAS.com - Hari Selasa, 10 Maret lalu, Kota Bekasi genap berusia 12 tahun. Jikalau diibaratkan dengan manusia, Kota Bekasi berada pada masa praremaja, alias anak baru gede (ABG). Namun, Kota Bekasi sudah menghadapi beragam persoalan seperti kota besar. Salah satunya adalah persoalan pertumbuhan penduduk.
Hal itu adalah konsekuensi, yang ditanggung Kota Bekasi (dan Kabupaten Bekasi), sejak Bekasi dikembangkan menjadi penyangga Jakarta berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 13 Tahun 1976.
Inpres tersebut menempatkan Bekasi sebagai kota satelit Jakarta dan menjadi bagian kawasan pengembangan Jakarta-Bogor-Tangerang-Bekasi (Jabotabek). Dengan kehadiran pabrik dan kawasan industri, Kota Bekasi berkembang sebagai kota berpenduduk padat.
”Ketika baru dikembangkan sebagai kota mulai tahun 1996, penduduk Kota Bekasi saat itu baru sekitar 750.000 jiwa,” kata Sekretaris Daerah Kota Bekasi Tjandra Utama Effendi, Jumat (6/3). ”Saat ini penduduk Kota Bekasi mencapai 2,2 juta jiwa dan sebagian besar ada penduduk komuter yang pada siang hari bekerja di Jakarta,” ujarnya.
Masalah kota
Laju pertambahan penduduk Kota Bekasi, menurut Sensus Penduduk 2000, mencapai 3,49 persen. Pertambahan penduduk Kota Bekasi lebih besar disebabkan migrasi. Penyebab tingginya migrasi tidak lain adalah berkembangnya Kota Bekasi menjadi pusat ekonomi dan pusat bisnis.
”Ini disebabkan letak Kota Bekasi yang berada di jalur ekonomi yang dinamis, yakni antara Jakarta dan Jawa Barat,” kata pengamat dari Universitas Islam 45 Bekasi, Harun Al Rasyid. ”Kota Bekasi berkembang pesat karena terimbas perkembangan Jakarta yang sudah mencapai titik jenuh,” ujar Harun.
Di pihak lain, tingginya laju pertambahan penduduk Kota Bekasi menimbulkan beragam persoalan bagi Kota Bekasi. Mulai dari masalah kemiskinan, pengangguran, kriminalitas, sampai transportasi, pendidikan dan kesehatan, serta interaksi sosial masyarakat.
Sampai akhir 2007, jumlah keluarga prasejahtera di Kota Bekasi tercatat sebanyak 20.448 keluarga, atau bertambah 1.700 keluarga dibandingkan dengan tahun 2006.
Begitu pula persoalan pengangguran. Hingga tahun 2006 masih terdapat 187.944 orang di Kota Bekasi yang menganggur dan sebanyak 43.742 orang lainnya sedang mencari kerja.
Persoalan juga tampak pada maraknya kasus kriminalitas di wilayah Kota Bekasi. Sosiolog dari Universitas Islam 45 Bekasi, Andi Sopandi, mengatakan, Kota Bekasi mendapat sorotan kurang menguntungkan akibat tingginya kasus kejahatan yang terjadi di wilayah ini. ”Terutama kasus narkotika,” kata Andi. ”Hampir 90 persen penghuni LP Bekasi akibat kasus narkotika,” ujarnya.
Dari catatan Kompas, sampai Oktober 2008 terdapat 3.213 kasus kriminalitas, termasuk kecelakaan dan pengaduan masyarakat, yang ditangani jajaran Kepolisian Resor Metropolitan Bekasi. Padahal, selama 2007, jumlah kasus kriminalitas yang ditangani Polres Metro Bekasi ”hanya” sebanyak 3.183 kasus.
Problem lain adalah penyediaan sarana dan prasarana transportasi. Pemerintah Kota Bekasi hingga sekarang masih berkutat dengan persoalan jalan berlubang atau jalan rusak. Kerusakan di ruas Jalan Pekayon-Jatiasih-Pondok Gede sudah bertahun-tahun belum tuntas ditangani.
Hal lain yang juga menjadi persoalan kota adalah penggunaan lahan. Dari sekitar 21.409 hektar luas wilayah Kota Bekasi, sebanyak 62 persennya sudah dibangun menjadi kawasan niaga dan kawasan permukiman. Sementara lahan yang tersisa sebagai ruang terbuka hijau hanya sekitar 14 persen.
”Kebijakan tata ruang kota tidak mendukung perkembangan kapasitas masyarakat untuk berperan dalam pembangunan daerah,” kata Andi. ”Lahan lebih banyak dibangun untuk permukiman dan perkantoran serta kawasan niaga, sementara ruang publik untuk tempat masyarakat berinteraksi masih diabaikan keberadaannya,” ujarnya.
Kebijakan
Bertepatan dengan peringatan hari jadi Kota Bekasi ke-12 hari ini, kepemimpinan Mochtar Mohamad dan Rahmat Effendi masing-masing sebagai Wali Kota Bekasi dan Wakil Wali Kota Bekasi persis berjalan satu tahun. Wajar apabila banyak yang berharap pemimpin baru membawa perubahan.
Gebrakan duet Mochtar-Rahmat yang dirasakan dampaknya adalah kebijakan pemberian subsidi di sektor pendidikan dan pelayanan kesehatan. Kebijakan tersebut merupakan implementasi visi Kota Bekasi terbaru, yakni Kota Bekasi Cerdas, Sehat, dan Ihsan.
Pada awal pemerintahannya, Mochtar menggratiskan biaya pendidikan di sekolah dasar. Mulai 2009, kebijakan pembebasan biaya pendidikan diberlakukan di sekolah menengah pertama. Tahun depan, kebijakan serupa diterapkan di sekolah menengah atas.
Begitu pula dalam urusan pelayanan kesehatan, sejak April 2008 Pemerintah Kota Bekasi menghapus pelayanan kesehatan dasar di semua puskesmas.
Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kota Bekasi 2009, Pemkot Bekasi mendistribusikan 36,87 persen dari anggaran belanja untuk sektor pendidikan, lebih dari 4,3 persen untuk kesehatan.
Kebijakan penganggaran yang berorientasi pada sektor pendidikan dan kesehatan itu, menurut Tjandra, tidak mengganggu rencana Pemkot untuk terus membangun dan menyiapkan utilitas kota yang memadai. ”Dengan demikian, Kota Bekasi mampu berkembang sebagai mitra sejajar dengan Jakarta, bukan sekadar kota penyangga Ibu Kota (negara),” kata Tjandra.

SEMBER :
http://nasional.kompas.com/read/2009/03/16/06484682/masalah.kepadatan.penduduk.menghadang (Senin, 16 Maret 2009)

STUDI KASUS

Selama ini, masalah kepadartan penduduk boleh dikatakan masih kurang mendapat perhatian dari masyarakat maupun tokoh masyarakat. Baik itu dari para politisi, tokoh agama, pakar ekonomi maupun tokoh masyarakat lainnya. Memang pada saat ini sebagian besar orang pada umumnya sudah tidak berkeberatan lagi dengan program untuk mengontrol kelahiran, tetapi sayangnya masih kurang sekali kesadaran untuk melaksanakannya dan dianggap tidak penting. Padahal, kalau kita mau menyadari, sebenarnya masalah kependudukan ini adalah masalah yang teramat penting, tidak kalah pentingnya dengan berbagai macam masalah lainnya yang seringkali kita perdebatkan dalam berbagai seminar dan diskusi, dan sebenarnya berkaitan erat dengan masalah ekonomi, hukum dan norma agama.

Sebenarnya, masalah kepadatan penduduk ini sudah bisa diatasi dengan baik bila saja sejak dulu sudah ada upaya yang sungguh-sungguh dari pihak pemerintah maupun tokoh-tokoh masyarakat untuk mengatasi masalah ini. Sayangnya, hal itu dulu masih belum ada. Dulu masih banyak orang yang menentang program KB (Keluarga Berencana). Kalau pun sudah ada yang menyetujuinya, umumnya mereka masih enggan untuk melaksanakannya. Pada zaman Orde Lama, dari pihak pemerintah pun tidak ada kesadaran akan masalah ini. Pada saat itu jumlah penduduk Indonesia masih berkisar 100 juta jiwa dan seandainya pada saat itu sudah ada upaya yang sungguh-sungguh tentunya tidak perlu penduduk Indonesia meledak seperti sekarang ini. 
Hingga saat ini memang masih banyak orang yang menganggap bahwa teori yang dikemukakan oleh Malthus sudah tidak berlaku lagi karena adanya berbagai macam kemajuan pada bidang pertanian yang bisa melipatgandakan jumlah makanan. Tetapi, mereka nampaknya melupakan bahwa kemajuan teknologi bukanlah hanya pada bidang pertanian, tetapi juga pada bidang kesehatan dan kedokteran. Jadi, tingkat kematian menurun dengan cukup drastis sedangkan tingkat kelahiran tetap bertambah menurut primitive rate. Maka semakin sesaklah bumi kita ini dan semakin sulitlah memenuhi kebutuhan pangan karena tingkat pertumbuhan penduduk dunia yang sekitar 1,2 persen per tahun sedangkan lahan pertanian hanya bertambah 0.8 persen saja. Jumlah lahan ini pun semakin hari semakin berkurang saja karena semakin meningkatnya kebutuhan akan perumahan.
Jadi, prediksi Malthus, atau lengkapnya Thomas Robert Malthus (1766-1834), dalam hal ini memang bisa dikatakan cukup tepat dan tetap berlaku hingga saat ini. Dan teori Malthus tentang kependudukan yang ditulis dalam esainya yang berjudul Essay on the Principle of Population ini juga sebenarnya yang turut memberikan pengaruh yang sangat besar untuk meyakinkan Darwin tentang terjadinya proses seleksi alam dalam evolusi mahluk hidup. Malthus menyatakan bahwa tingkat pertumbuhan penduduk adalah berdasarkan deret geometri (1, 4, 9, 16, ... dst.),  sedangkan jumlah makanan hanyalah bertambah menurut deret aritmetika (1, 2, 3, 4, ... dst.). Hal ini tentu pada akhirnya akan menimbulkan persaingan mati-matian antar Homo sapiens untuk memperebutkan sumber makanan karena berlebihnya jumlah penduduk.
Pada zaman Orde Baru, masalah kependudukan ini memang sudah mulai dibenahi. Keluarga Berencana (KB) dianjurkan di mana-mana dan di banyak tempat mendapat sukses. Tetapi, karena masih sangat kurangnya kesadaran dari masyarakat dan kurang intensifnya usaha yang dilakukan pemerintah, maka di banyak tempat pula usaha ini mengalami kegagalan. Jumlah penduduk masih terus bertambah dengan sangat pesatnya. Bila pada awal Orde Baru masih berjumlah sekitar 100 juta jiwa, maka pada akhir Orde Baru sudah berjumlah lebih dari 200 juta. Berlipat dua kali hanya dalam waktu 30 tahun saja. Suatu kecepatan pertumbuhan yang sulit dicari bandingannya sepanjang sejarah umat manusia. Hal ini tentu pada akhirnya mengakibatkan tekanan-tekanan yang luar biasa kepada lingkungan hidup yang merupakan sumber dari kehidupan manusia dan seluruh mahluk hidup di planet bumi ini. Dan patut pula diperhatikan bahwa dalam 30 tahun terakhir ini, jumlah produk pertanian telah meningkat hingga dua kali lipat, tetapi di banyak negara jumlah tersebut tetap tidak mencukupi.
Oleh karena itu, pada masa sekarang dan juga masa mendatang masalah kepadatan penduduk ini haruslah benar-benar bisa mendapat perhatian. Ini adalah masalah yang benar-benar sangat serius. Dan pada saat ini rasanya program KB ini sudah saatnya tidak lagi hanya sekedar dianjurkan, tetapi diwajibkan.  
 Untuk mengatasi masalah ini memang tidak cukup hanya dari pihak pemerintah saja yang mengurusinya. Semua pihak yang menyadari pentingnya masalah ini haruslah turut serta membantu membenahi masalah ini, baik itu dari generasi tua yang sudah terlanjur tidak melaksanakannya.
Dengan semakin banyaknya penduduk, maka hal ini menyebabkan tidak tersedianya ruang yang cukup bagi semua orang untuk menyambung hidup. Di desa tanah pertanian semakin menyempit karena harus dibagi-bagi dengan saudara yang selalu bertambah jumlahnya. Dan akhirnya, ketika sampai kepada generasi yang kesekian, ketika tanah sudah tak lagi mencukupi, orang di desa pun pergi ke kota. Di kota mereka pun harus bersaing dengan penduduk asli kota tersebut maupun orang dari berbagai wilayah lain yang juga berjubel banyaknya. Jadi, semakin berjubel-jubel. 
Selanjutnya, patutlah kita sadari bahwa luas tanah yang ada sangatlah terbatas. Kita misalkan saja bahwa di pulau Jawa penduduknya 100 juta jiwa. Kemudian kita misalkan bahwa di Jawa maksimal dibangun lima ribu pabrik atau perusahaan. Sekali lagi, ini jumlah maksimal, kecuali kalau diadakan penggusuran sawah atau perumahan penduduk. Lalu masing-masing perusahaan kita misalkan saja rata-rata mampu menampung lima ribu pegawai. Dan ini jumlah yang termasuk ideal bila kita misalkan setiap orang pekerja menghidupi rata-rata tiga orang anggota keluarga lainnya. Tetapi, bila jumlah ini terus-menerus bertambah tanpa henti, katakanlah hingga mencapai 200 juta jiwa (hanya di pulau Jawa saja) dalam beberapa tahun mendatang, dan ini bukanlah jumlah yang mustahil mengingat kecepatan pertumbuhan selama ini, maka jumlah yang ideal itu akan menjadi tidak ideal lagi. Jumlah perusahaan tidak mungkin akan bisa bertambah karena lahan sudah tidak tersedia lagi. Terlebih lagi, semakin banyak areal persawahan yang telah berubah menjadi pemukiman penduduk. Dan bertambahnya jumlah penduduk ini memang mau tidak mau akan menggusur areal persawahan menjadi perumahan seperti yang bisa kita saksikan saat ini di mana-mana. Dan dari tahun ke tahun kaum pengangguran ini semakin banyak saja jumlahnya karena pertumbuhan angkatan kerja selalu melebihi jumlah kesempatan kerja. Jadi, semakin lama semakin bertumpuk dan bertumpuk.
Dan salah satu cara memberantas kemiskinan dan pengangguran ini adalah dengan kontrol kelahiran sebab dengan kontrol kelahiran kita akan bisa dengan lebih mudah mengatasi kemiskinan karena akan terdapat ruang yang cukup bagi semua orang untuk mencari makan. Dengan itu pula kita akan bisa dengan lebih mudah mengatasi pengangguran karena kita memang akan bisa lebih mudah pula mengupayakan agar pertumbuhan angkatan kerja senantiasa sesuai dengan lapangan kerja yang tersedia. Akan tetapi, bila kita memang benar-benar mau memikirkan dan berupaya mengatasi masalah kependudukan dengan serius, maka secara perlahan-lahan angka kejahatan dan juga berbagai macam problem sosial lainnya akan bisa ditekan seminimal mungkin..
Oleh karena itu, sekali lagi, kita memang harus berupaya memikirkan dan mengatasi masalah kependudukan ini dengan sebaik-baiknya. Tanpa itu, jangan harap kesejahteraan dan kemakmuran akan bisa terwujud meskipun pemerintahan yang ada adalah pemerintahan yang benar-benar demokratis dan jujur sebab dengan semakin bertambahnya jumlah penduduk, maka akan semakin sulit pula bagi kita untuk mengatasi kemiskinan, pengangguran serta berbagai macam problem sosial lainnya. 


Sumber :
  • http://www.google.co.id/publicdata/explore?ds=d5bncppjof8f9_&met_y=sp_pop_grow&tdim=true&dl=id&hl=id&q=pertambahan+penduduk+dunia
  • http://media.isnet.org/iptek/100/Malthus.html
  • http://h0404055.wordpress.com/2010/04/02/masalah-kependudukan-pasca-orde-baru/