Dalam kamus Collins Gem (1993) dinyatakan bahwa hedonisme adalah
doktrin yang menyatakan bahwa kesenangan adalah hal yang paling penting
dalam hidup. Atau hedonisme adalah paham yang dianut oleh orang-orang
yang mencari kesenangan hidup semata-mata (Echols,2003). Gaya hidup hedonisme sama sekali tidak sesuai dengan tujuan pendidikan bangsa kita.
Tujuan pendidikan Negara kita adalah untuk mencerdaskan kehidupan
bangsa (pembukaan UUD 1945, alinea 4). Tujuannya tentu bukan untuk
menciptakan bangsa yang hedonisme, tetapi bangsa yang punya spiritual,
punya emosional quotient- peduli pada sesama dan tidak selfish atau
mengutamakan diri sendiri. Apakah banyak pelajar yang berpotensi menjadi
generasi yang hedonism yaitu generasi yang memandang kesenangan hidup
dan kenikmatan materi sebagai tujuan yang utama ? Jawabnya adalah “ya”.
Lantas apa indikatornya ?
Bahwa hedonismee sebagai fenomena dan gaya hidup sudah tercermin dari
prilaku mereka sehari-hari. Mayoritas pelajar berlomba dan bermimpi
untuk bisa hidup mewah. Berfoya-foya dan nongkrong di kafe, mall dan
plaza. Ini merupakan bagian dari agenda hidup mereka. Barangkali inilah
efek negative dari menjamurnya mall, plaza dan hypermarket lainnya.
Mengaku sebagai orang timur yang beragama, namun mereka tidak risih
bermesraan di depan public . ini adalah juga gaya hidup mereka. Hal lain
yang membuat hati kita gundah- menyimak berita pada televisi dan
Koran-koran bahwa sudah cukup banyak pemuda-pemudi kita yang menganut
paham hidup free sex dan tidak peduli lagi pada orang-orang sekitar.
Hamil di luar nikah bukan jadi ‘aib lagi, malah sudah dianggap model
karena para-para model mereka juga banyak yang begitu seperti
digossipkan oleh media elektronik (TV) dan media cetak (majalah, Koran
dan tabloid).
Gaya hidup hedonismee tentu ada penyebabnya. Ada banyak faktor
ekstrinsik (faktor yang datang dari luar) yang memicu emosi mereka
menjadi hamba hedonisme. Orang tua dan kaum kerabat adalah penyebab
utama generasi mereka menjadi hedonisme. Mereka (atau kita) lalai untuk
mewarisi anak dan keponakan dengan norma dan gaya hidup timur yang punya
spiritual. Kita tidak banyak mencikaraui (campurtangan) anak tentang
hal spiritual. Sebagai orang tua, kta jarang yang ambil pusing apakah
anak sudah melakukan sholat atau belum, apakah lidahnya masih terbata-
bata membaca alif –ba-ta, dan tidak sedih melihat remaja mereka kalau
tidak mengerti dengan nilai puasa.
Kecendrungan orang tua yang pro dengan gaya hidup hedonism, memandang
anak bukan sebagai titipan Ilahi. Tapi memandang anak sebagai objek
untk diotak atik. Sejak kecil anak sudah diperlakukan dengan hal yang
aneh-aneh; anak dianggap lucu kalau rambutnya di gondrongkan, nyanyinya
ya nyanyi tentang cinta- kalau perlu syair yang jorok. Katanya Sejak
kecil anak didik bahwa shopping yang ngetren musti di mall, dan makanan
yang bergizi adalah KFC atau burger.
Orang tua yang pro hedonisme tidak begitu peduli dalam mengasah
spiritual anak. Tidak heran kalau anak-anak mereka cenderung menjadi
generasi free thingker atau generasi yang kurang diajar untuk mengenal
Sang Khalik. Akibatnya mereka tumbuh jadi generasi yang rapuh, mudah
putus asa dan mencari kambing hitam, bila ditimpa musibah “Aku sakit
karena shio ku shio kuda, atau aku lagi sial gara-gara memakai kemeja
merah ini”.
Sampai sekarang tetap orang, termasuk pelajar/generasi muda,
memandang segala sesuatu yang berasal dari Barat sebagai hal yanh hebat.
Pelajar merasa minder kalau ketahuan lebih mengidolakan lagu daerah,
lagu Minang, dan lagu dangdut. Mereka harus mengidolakan lagu dan musisi
dari barat. Poster-poster figur dari Barat, artis dan atlit, patut
ditempel di kamar belajar. Kemudian tiap saat mengupdate atau mengikuti
perkembangan beritanya; “ oh artis atau atlit dari klub itu lagi
pacaran, yang ini mau cerai, yang itu punya mobil mewah, yang itu lagi
bersenang-senang dengan kekasihnya di laut caribia….wah aku patut meniru
gaya hidup nya”. Demikianlah pelajar dari dalam kamarnya menyerap gaya
hedonisme dari info-info tentang figur-fugur idola yang menempel di
dinding kamarnya dibandingkan figur-figur intelektual, pahlawan,
pendidik dan tokoh spiritual lainnya.
Faktor bacaan dan tontonan memang dapat mencuci otak pelajar untuk
menjadi orang yang memegang prinsip hedonisme. Adalah kebiasaan pelajar
kalau pulang sekolah pergi dulu ke tempat keramaian, pasar, paling
kurang mampir di kiosk penjualan majalah dan tabloid. Ada sejumlah
tabloid dan majalah, ada untuk anak-anak, remaja, dan dewasa. Tabloid
dan majalah untuk remaja ada yang punya tema tentang agama, olahraga,
pendidikan, dan majalah/tabloid popular. Umumnya yang berbau agama dan
pendidikan kurang laku. Yang paling laris adalah tabloid dan majalah
remaja popular yang isinya banyak bersifat hura-hura- shopping dan
kencan.
Coba ambill satu majalah pop remaja (tidak perlu sebut nama
majalahnya) maka yang terlihat pada covernya adalah sepasang kaum
adam-hawa yang berusia belia lagi dimabuk asmara. Kalau tidak demikian
mana mungkin laku, karena pebisnis sengaja meraup untung lewat mencuci
otak remaja menjadi sekuler dan hedonisme. Kemudian coba balik halaman
demi halaman. Maka yang kita jumpai adalah gambar-gambar iklan seputar,
parfum, make up, pakaian sexy yang sangat tidak pantas untuk orang
timur yang terkenal punya budaya malu. Kemudian style rambut dan
assesori- untuk cowok rambut dipanjangkan atau model punk, diberi warna,
style wanita lain lagi. Memakai celana harus melorot, jangan lupa
dengan assesori. Karena yang membelinya adalah para pelajar maka tabloid
dan majalah pun telah mencuci otak mereka. Akibatnya pelajar sering
bermasalah dengan disiplin sekolah.
Sampai detik ini semua sekolah di Indonesia tidak pernah
mengizinkan siswan pria ya memakai anting-anting pada sebelah telinga,
memakai tattoo, mengambil style rambut seperti artis atau atlit- di
gunting panjang/ gondrong atau disisir punk seperti duri landak.
Selanjutnya sampai detik ini sekolah tetap mengharapkan siswanya supaya
berpenampilan rapi, kalau boleh gagah seperti ABRI, ke sekolah bukan
ibarat artis pergi ke concert- seragam dengan celana melorot, harus
tersumbul sedikit celana dalam di bagian punggung, kaki di beri gelang
atau rantai, ibarat kaki gajah di Way Kambas Lampung, tangan dan jari
penuh dengan assesori. Pelajar-pelajar yang berjiwa hedonis umumnya
tidak begitu menghargai waktu dan dan jalannya lemas, beda dengan kaum
hedonis di Barat. Mereka kerja keras mati-matian untuk mewujudkan
hedonismeenya. Sementara pelajar kita yang menyenangi gaya hidup
hedonisme cenderung bekerja dan belajar santai (karena mereka punya
moto: hidup santai masa depan cerah) mereka terlalu bergantung dan
menghabiskan harta orang tua.
Pengaruh tontonan, tayangan televisi (profil sinetron, liputan tokoh
selebriti dan iklan) juga mengundang pelajar untuk mengejar hedonisme.
Majalah remaja popular dan kebanyakan tema televisi sama saja. Isinya
banyak mengupas tema tema berpacaran, ciuman, pelukan, perceraian,
pernikahan. hamil di luar nikah dan bermesraan di muka publik sudah
nggak apa-apa lagi, cobalah dan lakukanlah ! seolah-olah beginilah
ajakan misi televisi dan majalah yang tidak banyak mendidik, kecuali
hanya banyak menghibur.
Rancangan majalah popular dan tema televisi komersil di negara kita
memang sedang menggiring pelajar menjadi generasi konsumerisme bukan
memotivasi mereka untuk menjadi generasi produktif. Tema iklannya adalah
“manjakanlah kulitmu”. Andaikata semua pelajar dan mahasiswa melakukan
hal yang demikian, memuja kulit. Pastilah sawah dan ladang, serta
lahan-lahan subur makin banyak yang tidak terurus. Karena mereka semua
takut jadi hitam. Pada hal untuk manusia yang patut dimuliakan adalah
kualitas intelektual, kualitas spiritual dan kualitas hubungan dengan
manusia (kualitas fikiran dan keimanan).
Sebagaimana dikatakan sebelumnya bahwa banyak pelajar dengan gaya
hidup hedonisme yang mereka sadur lewat budaya hedo dari barat,
terinspirasi oleh model-model atlit dan artis yang info perkembangannya
selalu mereka update tiap saat. Kemudian gaya hidup hedo (hedonisme)
juga diperkaya oleh suguhan majalah pop remaja dan belasan stasiun
televisi swasta yang bernuansa sekuler dengan gaya hidup figur yang
penuh glamour dan kepalsuan. Namun ada bedanya, yaitu tokoh tokoh yang
bergaya hidup hedonisme dari dunia Barat dan dari Indonesia sendiri,
mereka memperoleh gaya hidup hedonisme lewat kerja keras. Sementara
remaja dan juga mahasiswa (juga banyak terjebak dalam gaya hedonisme)
menjadi hedonism dengan cara bermimpi, kadang-kadang tampil keren karena
memakai baju dan celana pinjam atau hidup dengan gaya hedonisme lewat
menggunakan fasilitas orang tua, inilah yang dikatakan sebagai hedonisme
picisan.
Memilih gaya hidup hedonime, terus terang tidak akan pernah
memberikan kepuasan dan kebahagiaan. Ibarat minum air garam, makin
diminum makin haus. Bagi yang belum terlanjur menjadi pengidola
hedonisme maka segeralah balik kiri, berubah seratus delapan puluh
derajat. Bahwa kebahagian hidup ada pada hati yang bening, saatnya bagi
kita kembali untuk menyuburkan akar-akar spiritual- kembali ke jalan
Ilahi, tumbuhkan jiwa peduli pada sesama- buang jauh jauh karakter
selfish (mementingkan diri sendiri), dan miliki multi kekuatan – kuat
otak, kuat otot, kuat kemampuan berkomunikasi, kuat beribadah, dan kuat
mencri rezki.
By: Marjohan Usman M.Pd
SUMBER :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar