Halaman

Sabtu, 05 Mei 2012

Hapus Kesenjangan Pendidikan : Negeri dan Swasta Sama Saja

Kesenjangan pendidikan masih menjadi momok yang menakutkan di Indonesia. Tak bisa dipungkiri, kualitas yang berbeda antar sekolah menjadikan tidak semua tunas bangsa memiliki kesempatan yang sama dalam memperoleh akses pendidikan.

Berdasarkan statusnya, secara umum sekolah dapat diklasifikasikan menjadi dua macam, yaitu sekolah negeri dan sekolah swasta. Sekolah negeri merupakan sekolah yang penyelenggaraanya dilakukan oleh pemerintah, mulai dari Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), Sekolah Menengah Atas (SMA), hingga Perguruan Tinggi Negeri (PTN). Sebaliknya, sekolah swasta, sesuai dengan namanya merupakan sekolah yang penyelenggaraanya dilakukan oleh swasta/non pemerintah, biasanya dalam bentuk yayasan (http://id.wikipedia.org/wiki/Sekolah, diakses 12 Maret 2011).

Perbedaan yang mencolok sebenarnya hanyalah pada penyelenggaranya saja. Sekolah negeri di urus oleh pemerintah. Sedangkan sekolah swasta, berdasarkan Pasal 27 UU Nomor 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional diberikan kesempatan seluas-luasnya dalam proses penyelenggaraan pendidikan. Perbedaan inilah yang kemudian membentuk perbedaan dalam berbagai hal lainnya di kedua jenis sekolah ini, yaitu dalam hal fasilitas, kualitas proses pembelajaran, profesionalisme tenaga pengajar, kenyamanan hingga akses pendukung lainnya.

Pertama, dalam masalah fasilitas, beberapa sekolah swasta yang mempunyai modal besar mampu memberikan fasilitas yang jauh lebih lengkap dibanding sekolah negeri yang kebanyakan terdapat di negeri ini. Mulai dari gedung yang megah, ruangan kelas yang menyediakan air conditioner(ac), penyertaan infokus dalam penyampaian materi ajar, laboratorium dan segala peralatannya yang lengkap, hingga fasilitas penunjang lainnya seperti jaringan koneksi internet wi-fi yang turut disediakan di komplek sekolah. Beberapa hal yang tak akan sanggup disediakan oleh sekolah swasta dengan modal pas-pasan.

Sebaliknya, sekolah negeri hanya menunggu kemurahan hati dari pemerintah. Beberapa diantaranya menjadi lebih beruntung karena mendapat perhatian lebih. Tentu kita sering mendengar istilah sekolah unggul, sekolah percontohan, sekolah rintisan berstandar internasional, atau bahkan sekolah berstandar internasional. Secara fasilitas, mungkin saja sekolah-sekolah seperti ini dapat menyaingi atau bahkan melebihi sekolah-sekolah swasta besar seperti yang kita sebut diatas. Namun, di sisi lain juga kita masih sering (bahkan terlalu sering karena saking banyaknya) melihat sekolah negeri dengan standar biasa-biasa saja. Mungkin ini standar Indonesia.

Dari segi proses belajar-mengajar, sekolah swasta dan sekolah negeri yang relatif sudah maju lebih interaktif dibanding sekolah pada lain umumnya, baik swasta maupun negeri. Di sini, proses belajar tidak lagi berjalan se arah. Peserta didik dilibatkan lebih intens dibanding sekolah lain–yang lebih miskin- pada umumnya. Peran guru dapat dimaksimalkan lebih hanya sebatas sebagai pembimbing atau pengarah. Siswa menjadi lebih aktif serta tak jarang dalam pelajaran tertentu membentuk (atau dibentuk oleh gurunya) kelompok belajar. Kadang juga peserta didik dituntut untuk membuat makalah dan kemudian mempresentasikannya di depan kelas. Intinya, peran guru tidak lagi sedominan seperti di sekolah yang saya sebut standar Indonesia tadi.

Hal inilah yang sangat sulit kita jumpai di sekolah negeri kebanyakan-serta beberapa sekolah swasta yang kualitasnya dibawah sekolah negeri kebanyakan-. Proses belajarnya terlalu monoton dengan guru sebagai pelakon tunggal. Peserta didik hanya menjadi pemain figuran, datang, duduk, diam, dengar (lebih seringnya ribut gak jelas dalam kelas), bolos sekolah, dan kemudian pulang.

Hal lainnya adalah mengenai profesonalisme tenaga pengajar. Di sekolah maju (swasta maupun negeri), kualitas tenaga pengajar tidak perlu dipertanyakan lagi. Guru mengajar sesuai bidang keilmuan yang dimilikinya. Bahkan, tidak jarang sekolah seperti ini mempunyai guru lulusan pascasarjana (S2). Namun, hal sebaliknya harus terjadi di sekolah-sekolah negeri kebanyakan. Lebih tragis, di beberapa sekolah di pedalaman tak jarang kita jumpai guru yang merangkap mata pelajaran demi menutupi kekosongan stock guru yang ada. Bayangkan saja, jika anak anda harus mempelajari pelajaran Bahasa Indonesia, Agama, dan Muatan Lokal pada seorang lulusan sarjana Matematika. Miris!

Terakhir, sekolah yang telah relatif maju, baik swasta maupun negeri juga menyediakan berbagai akses pendukung lainnya yang dapat memberikan kenyamanan dan daya tarik tertentu bagi calon peserta didik. Kegiatan ekstrakurikuler yang beragam misalnya, dapat memberikan ruang bagi peserta didik untuk tidak hanya mengembangkan diri dalam dunia akademik, melainkan juga mengembangkan minat dan bakat sesuai keinginannya masing-masing.

Sebagai penutup, tentu kita berharap pemerintah dapat memberikan akses pendidikan yang sama rata bagi semua sekolah di Indonesia. Semua sekolah negeri selayaknya mempunyai standar yang sama dengan kualitas yang sama pula sehingga dapat diandalkan demi menciptakan tunas bangsa yang handal dan kreatif demi mengangkat harkat dan martabat bangsa. Sekolah swasta, terutama yang masih terbelakang, selayaknya juga dinegerikan atau diberikan subsidi untuk dapat berdiri mandiri. Bukankah pengalaman bangsa Jepang membuktikan bahwa untuk maju harus dimulai dengan pendidikan yang berkualitas?

Pada akhirnya, kita hanya berharap tidak ada lagi kesenjangan pendidikan di Indonesia. Kalau tidak, kata-kata “sekolah hanya menjadi lembaga reproduksi kesenjangan sosial” yang dilontarkan Pierre Bourdieu, seorang sosiolog berkebangsaan Prancis, semakin benar adanya.

SUMBER :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar